Skip navigation

Dalam berbagai penelitian dan survei, hampir selalu disebutkan jika BPN (Badan Pertanahan Nasional) merupakan salah satu instansi terkorup di Indonesia. Ironisnya, tidak pernah ada tindakan nyata dari pemerintah untuk melakukan reformasi di bidang pelayanan publik BPN.

Mengapa pemerintah tampak diam saja dalam kasus BPN? Alasannya adalah, pemerintah tidak dirugikan secara langsung dengan praktek pungutan liar yang terjadi di BPN. Kerugian “hanya” dirasakan oleh publik.

Punggutan liar alias pungli sudah begitu mendarah daging di BPN. BPN yang bersih tentu saja ada, namun kemungkinan jumlahnya bisa dihitung dengan jari sebelah tangan.

1. Keterlibatan kepala BPN sehingga korban tidak bisa melaporkan penyelewengan anak buah kepada kepalanya.
2. Negara tidak dirugikan secara langsung, melainkan publik, sehingga tidak dirasakan urgensi dari pemerintah untuk segera menuntaskan permasalah ini.
3. Korban pungli takut melaporkan karena biasanya pengurusan sertifikat bersifat individual dan tidak massal, sehingga korban harus sendirian berhadapan dengan birokrasi. Korban juga takut menjadi target balas dendam.
4. Korban sering mengalah terhadap pungutan daripada dipersulit proses pengurusannya.
5. Pungutan sulit dibuktikan, karena rekaman audio maupun video tidak berlaku sebagai alat bukti.

Bagaimana dengan pengurusan melalui notaris PPAT? Dari pengamatan, notaris PPAT biasanya sudah terbelit dalam jaring birokrasi sarat pungli ini. Tugas notaris memang mempermudah proses, karena client tidak harus berhadapan langsung dengan pihak BPN. Tugas notaris lainnya adalah melakukan nego harga atau nego “uang jasa” bagi “orang dalam”. Negosiasi biasanya dilakukan antara sang notaris dengan kepala BPN (ini salah satu penjelasan kenapa pengurusan sertifikat bisa makan waktu lama, karena sertifikat tidak dapat diproses jika kepala BPN sedang tidak berada ditempat, misalnya sedang menjalani pelatihan di luar kota. Anak buah tidak mempunyai wewenang menentukan besarnya “uang jasa”). Uang pengurusan harus disediakan dimuka, sebelum proses pengurusan dimulai.

Bagaimana dengan mengurus langsung tanpa melalui jasa notaris? Tentu bisa, namun Anda harus bersiap mental untuk melalui proses birokrasi yang tidak nyaman.

Besarnya “uang jasa” bisa mencapai 200% atau lebih. Jika biaya resmi 2 juta, maka total biaya yang harus dikeluarkan bisa mencapai 5 juta. Semakin besar bidang tanah yang terkait, maka semakin besar pula biaya siluman yang harus dibayarkan. Jika beruntung, korban akan bertemu dengan kepengurusan di BPN yang “baik hati” dan tidak menarik “uang jasa” lebih dari 50% biaya resmi.

Jadi bagaimana? Apakah praktek uang jasa ini patut untuk terus dibiarkan? Atau Anda punya usulan yang bijak untuk mengatasi masalah ini.

Baca juga:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/jawa-barat/pengembang-keluhkan-pungli-di-bpn.html
http://www.surya.co.id/web/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=18406
http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=61882

atau google dengan kata kunci “pungli di BPN”.